Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI TERNATE
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
4/Pid.Pra/2021/PN Tte RANI ANDINI YASA POLDA MALUKU UTARA Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 05 Apr. 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 4/Pid.Pra/2021/PN Tte
Tanggal Surat Jumat, 02 Apr. 2021
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1RANI ANDINI YASA
Termohon
NoNama
1POLDA MALUKU UTARA
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
  1. Bahwa perlu dipahami dan diketahui bahwa lahirnya lembaga Praperadilan adalah karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo-Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia;
  2. Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu dan Bab XII Bagian Kesatu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), secara expressis verbis dimaksudkan sebagai sarana kontrol atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (terutama Penyelidik/Penyidik maupun Penuntut Umum), sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-wenang dengan maksud/tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk in casu PEMOHON. Menurut Luhut M. Pangaribuan, lembaga Praperadilan yang terdapat di dalam KUHAP identik dengan lembaga pre-trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip Habeas Corpus, yang mana pada dasarnya menjelaskan bahwa didalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang;
  3. Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa (dwang middelen) yang dilakukan oleh penyelidik/penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah atau tidaknya tindakan penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan;
  4. Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa (dwang middelen) yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap Tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan undang-undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau perundang-undangan lainnya;
  5. Bahwa apabila kita merujuk pendapat S. Tanusubroto, yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga Praperadilan sebenarnya memberikan peringatan:
    1. Agar penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang;
    2. Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang menyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia;
    3. Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah dalam memenuhi dan melaksanakan putusan hukum itu.
    4. Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
    5. Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.

Selain itu, menurut Indriyanto Seno Adji bahwa KUHAP menerapkan lembaga Praperadilan untuk melindungi seseorang dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindakan kepolisian (TERMOHON sebagai salah satu institusi yang berwenang menyidik) dan/atau Kejaksaan yang melanggar hukum dan merugikan seseorang (PEMOHON), dimana lembaga Praperadilan ini berfungsi sebagai lembaga pengawas terhadap upaya paksa (dwang middelen) yang dilaksanakan oleh pejabat penyidik dalam batasan tertentu;

  1. Bahwa apa yang diuraikan di atas, yakni filosofi Lembaga Praperadilan sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia, telah dituangkan secara tegas dalam konsideran menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP yang dengan sendirinya menjadi spirit atau ruh dari KUHAP, yang berbunyi :
    1. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”;
  1. “bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.”

Juga ditegaskan kembali dalam Penjelasan Umum KUHAP angka 2 paragraf ke-6 yang berbunyi :

“...Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat dicapai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegak mantabnya hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengayoman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.”

  1. Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan Praperadilan, selain daripada persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan maupun ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP), juga meliputi tindakan lain sebagaimana ditentukan secara tegas dalam ketentuan Pasal 95 menyebutkan bahwa :
    1. Tersangka, terdakwa atau Terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan;
    2. tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka atau ahliwaris-nya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang Praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

Dengan kata lain, Pasal 95 ayat (1) dan (2) a quo pada pokoknya merupakan tindakan penyidik atau penuntut umum dalam rangka menjalankan wewenangnya yang dilakukan tanpa alasan hukum, sehingga melanggar hak asasi atau harkat martabat kemanusiaan atau merugikan seseorang, in casu PEMOHON. Oleh karena itu, tindakan lain yang dilakukan oleh TERMOHON menjadi objek permohonan Praperadilan.

  1. Bahwa menguji keabsahan penetapan status Tersangka PEMOHON adalah untuk menguji tindakan–tindakan penyidik, apakah bersesuaian dengan ketentuan mengenai penyidikan yang termuat dalam KUHAP, mengingat penetapan status tersangka seseorang adalah “kunci utama” dari tindakan upaya paksa (dwang middelen) selanjutnya yang dapat dilakukan oleh Penyidik baik berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan maupun penyitaan. Dengan kata lain, adanya “status tersangka” menjadi alas hukum bagi Penyidik untuk melakukan suatu upaya paksa (dwang middelen) terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka;
  2. Bahwa dalam praktek peradilan, Hakim dipelbagai Pengadilan Negeri di Indonesia telah membuat putusan terkait penetapan tersangka diakui sebagai obyek praperadilan, antara lain:
  1. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.
  2. Putusan Praperadilan Pengadilan Jakarta Selatan dalam perkara No. 38/Pid.Prap/2012/PN.JKT.Sel, tanggal 27 November 2012, dengan amar putusan, antara lain:
    1. Menyatakan tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1990 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
    2. Menyatakan tidak sah menurut hukum penahanan terhadap Pemohon sesuai Surat perintah penahanan Nomor: Print-30/F.2/Fd.1/09/2012 Tanggal 26 September 2012 sebagai Tersangka telah melanggar Pasal 2 ayat(1) atau pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;
    3. Memerintahkan kepada Termohon untuk membebaskan Tersangka BACHTIAR ABDUL FATAH (Pemohon dalam perkara Praperadilan ini) dari tahanan seketika setelah putusan ini diucapkan.
  3. Putusan Praperadilan Pengadilan Jakarta Selatan dalam perkara Nomor : 4/Pid/Prap/2014/PN.Jkt.Sel, tanggal 16 Februari 2015, dengan amar putusan, antara lain:
    1. Menyatakan penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah.”
    2. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon.”;
  4. Putusan Praperadilan Pengadilan Jakarta Selatan dalam perkara Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 16 Februari 2015, dengan amar putusan, antara lain:
    1. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat;
    2. Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat;
    3. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah;
    4. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon;
  5. Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara No. 36/Pid.Prap/2015/PN.JKT.Sel, tanggal 26 Mei 2015, dengan amar putusan, antara lain :
    1. Menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon berkenaan dengan peristiwa pidana sebagaimana dinyatakan dalam penetapan sebagai Tersangka terhadap diri Pemohon yang diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang–Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang–Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–Undang No. 31 Tahun 1999 jis. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP adalah tidak sah oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hokum mengikat dan oleh karena itu diperintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan, No. Sprin DIK–17/01/04/2014 tanggal 21 April 2014;
    2. Menyatakan menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yang melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang–Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang–Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–Undang No.31 Tahun 1999 jis. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP berdasarkan Surat Perintah Penyidikan, No. Sprin DIK–17/01/04/2014 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya Penetapan Tersangka aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”;
  6. Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Nomor: 67/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 4 Agustus 2015, dengan amar putusan, antara lain:
    1. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Prin-752/O.1/Fd.1/06/2015 tanggal 5 Juni 2015 yang menetapkan Pemohon sebagai tersangka oleh Termohon terkait peristiwa Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9, Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan a quo adalah tidak mempunyai kekuatan mengikat;
    2. Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwa Pidana sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9, Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang–Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum, dan oleh karenanya Penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
    3. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah tidak sah;
    4. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon;
  7. Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Surabaya dalam perkara Nomor: 11/Praper/2016/PN.Sby tanggal 7 Maret 2016, dengan amar putusan, antara lain:
    1. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Nomor: Print-86/O.5/Fd.1/01/2016, tanggal 27 Januari 2016 terkait perkara tindak pidana korupsi Penggunaan Dana Hibah untuk pembelian Initial Public Offering (IPO) Bank Jatim pada Kamar Dagang dan Industri Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 dan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Nomor: Print-120/O.5/Fd.1/02/2016 tanggal 15 Februari 2016 terkait perkara tindak pidana pencucian uang dalam pembelian Initial Public Offering (IPO) Bank Jatim pada Kamar Dagang dan Industri Provinsi Jawa Timur Tahun 2012;
    2. Menyatakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait perkara tindak pidana korupsi penggunaan dana hibah untuk pembelian Initial Public Offering (IPO) Bank Jatim pada Kamar Dagang dan Industri Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 dan perkara tindak pidana pencucian uang dalam pembelian Initial Public Offering (IPO) Bank Jatim pada Kamar Dagang dan Industri Provinsi Jawa Timur Tahun 2012 Tidak sah dan melanggar hukum serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  8. Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Nomor: 56/Pid.Prap/2017/PN.Jkt.Sel tanggal 13 Juni 2017, dengan amar putusan, antara lain:
    1. Mengabulkan permohonan praperadilan para pemohon untuk sebagian;
    2. Menyatakan penetapan tersangka terhadap diri para pemohon (Herianto, Aris Winata Saputra dan Bihin Charles) tidak sah atau tidak berkekuatan hukum atau tidak memiliki kekuatan hukum;
    3. Menyatakan penggeledahan dan penyitaan terhadap para pemohon adalah tidak sah;

Bahwa beberapa dasar Putusan Praperadilan a quo, tentunya dapat dijadikan rujukan sebagai yuriprudensi dalam memeriksa perkara Praperadilan atas tindakan penyidik yang pengaturannya di luar ketentuan Pasal 77 KUHAP. Tindakan lain termasuk sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan yang keliru atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh penyidik, tidak dapat dibiarkan tanpa adanya suatu koreksi. Jika kekeliruan atau pelanggaran tersebut dibiarkan, maka akan terjadi kesewenang-wenangan yang jelas-jelas akan mengusik rasa keadilan;

  1. Bahwa pranata Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai pranata untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa (dwang middelen) oleh penyidik, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan adalah untuk menguji sah tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelidik, penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan Penyelidikan, penyidikan atau penuntutan sebagaimana dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015;
  2. Bahwa dengan memperhatikan praktek peradilan melalui putusan Praperadilan atas penetapan Tersangka tersebut di atas, serta pertimbangan hukum (ratio decidendi) Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, yang menyatakan:

“...Oleh karena penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai penetapan tersangka menjadi objek yang didalili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum.” (Putusan MK hal 105-106),

Atas dasar itu, maka cukup alasan hukum bagi PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai Tersangka melalui Praperadilan;

  1. Bahwa merujuk amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang berbunyi antara lain:

(1.3) Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;

(1.4) Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;”

Maka menjadi jelas dan terang bahwa penetapan Tersangka, termasuk juga sah atau tidaknya penggeledahan dan penyitaan menurut hukum adalah merupakan objek Praperadilan;

  1. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU–XII/2014 tanggal 28 April 2015 sesungguhnya memperkuat Pertimbangan Hukum (ratio decidendi) MK dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011, bertanggal 1 Mei 2012, yang mengadili dalam kaitannya dengan Pasal 83 ayat (2) KUHAP mempertimbangkan antara lain:

“...salah satu pengaturan kedudukan yang sama di hadapan hukum yang diatur dalam KUHAP tersebut adalah adanya sistem praperadilan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, baik yang disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi atau pun tidak. Adapun maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.

Dengan demikian dibuatnya sistem praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP adalah untuk kepentingan pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Kehadiran KUHAP dimaksudkan untuk mengoreksi pengalaman praktik peradilan masa lalu, di bawah aturan HIR, yang tidak sejalan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. Selain itu, KUHAP memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum...dst”;

Dengan demikian, secara eksplisit sesungguhnya sudah jelas dan terang bahwa penggeledahan dan penyitaan juga merupakan bagian dari mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dan karenanya termasuk dalam ruang lingkup praperadilan.

  1. Bahwa peranan hakim untuk menemukan hukum memperoleh tempat sangat penting dan menentukan yang secara tegas diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai berikut :

Pasal 5 ayat (1) :

Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 10 ayat (1) :

Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan menggalinya.”

  1. Bahwa penetapan status PEMOHON sebagai Tersangka yang tidak dilakukan berdasarkan hukum acara yang sah (illegal), jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsahan melalui Lembaga Praperadilan. Upaya penggunaan hak yang demikian itu selain sesuai dengan spirit atau ruh/jiwa KUHAP, juga dijamin oleh ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD Negara RI 1945 yang berbunyi :

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pasal 28I ayat (1) UUD RI Tahun 1945, kutipannya antara lain menegaskan:

“...Hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum,...adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Secara filosofi bahwa Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT (Tuhan Yang Maha Esa), oleh Pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat dirinya yang bersifat universal dan langgem/tetap, oleh karena itu wajib dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun (vide konsideran menimbang huruf a dan b UU UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Hak memperoleh keadilan yang merupakan hak konstitusional setiap warga negara ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 7 dan Pasal 8 TAP MPR No. XVII Tahun 1998 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi:

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil.” (Pasal 7)

Setiap orang berhak mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama dihadapan hukum.” (Pasal 8)

Ketentuan a quo, dijabarkan lagi dalam Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), yang berbunyi :

Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”

Sehingga telah jelas dan tegas UUD NRI Tahun 1945 mengatur perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara. Terlebih lagi, Indonesia telah meratifikasi International Covenant On Civil and Political Right (“ICCPR”) melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Right (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) (selanjutnya disebut “UU KOVENAN INTERNASIONAL”). ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU KOVENAN INTERNASIONAL merupakan salah satu instrumen Internasional utama yang berisi mengenai pengukuhan pokok-pokok Hak Asasi Manusia. Dalam ketentuan yang telah diratifikasi tersebut, Negara Republik Indonesia telah berjanji untuk memberikan jaminan guna melakukan pemulihan terhadap seseorang yang hak-haknya telah dilanggar dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas institusi negara. Adapun ketentuan dimaksud sebagai berikut :

Pasal 14 angka 3 huruf a (mengenai hak yang dilanggar) :

In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantees, in full equality : a) To be informed promptly and in detail in a language which be understands of the nature and cause of the charge against him” ;

Terjemahannya : “Dalam penentuan suatu tindak kejahatan, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal dibawah ini secara penuh, yaitu : a) untuk diberitahukan secepatnya dan terinci dalam bahasa yang dimengerti tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya.”

Pasal 2 angka 3 huruf a dan b (mengenai janji negara untuk menjamin pemulihan hak yang dilanggar) :

Each State Party to the present Covenant undertakes : a) to ensure that any person whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall have and effective remedy, notwithstanding that the violation has been committed by persons acting in an official capacity; b) To ensure that any person claiming such remedy should have his right thereto determined by competent judicial, adminitrative or legislative authorities, or by any other competent authority provided for by the legal system of the State, and to develop the possibilities of judicial remedy;

Terjemahannya : “Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji : a) Menjamin bahwa setiap orang yang hak-hak atau kebebasannya diakui dalam Kovenan ini dilanggar, akan memperoleh upaya pemulihan yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi; b) Menjamin bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan hak-hak-nya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem Negara tersebut, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan;”

Dengan demikian, mengacu kepada prinsip fundamental KUHAP (perlindungan hak asasi manusia) jo. ketentuan Pasal 17 UU HAM jo. Pasal 2 angka 3 huruf a dan b ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU KOVENAN INTERNASIONAL, maka pengujian atas keabsahan penggunaan wewenang Penegak Hukum dalam melaksanakan KUHAP melalui lembaga Praperadilan telah mengalami perluasan sistematis (de systematische interpretatie) termasuk meliputi penggunaan wewenang Penyidik yang bersifat mengurangi atau membatasi hak seseorang seperti diantaranya menetapkan seseorang sebagai tersangka, tindakan penggeledahan dan penyitaan secara tidak sah dan tidak berdasarkan hukum, sehingga tidak hanya terbatas pada pengujian wewenang yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP yaitu (a) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; dan (b) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

  1. Bahwa PEMOHON telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh TERMOHON berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/05.a/I/2021/Dit Reskrimum tanggal 12 Januari 2021 (merujuk Surat Panggilan Nomor: S.Pgl/17/I/2021/Ditreskrimum tanggal 13 Januari 2021 {vide Bukti P-01 Terlampir} dan Surat Perintah Penggeledahan Rumah dan atau Tempat Tertutup Lainnya Nomor: Sp.Dah/01.a/I/2021/Ditreskrimum tanggal 20 Januari 2021 {vide Bukti P-02 Terlampir}). PEMOHON diduga melakukan Tindak Pidana KDRT psikis sebagaimana diancam dengan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 5 huruf b jo. Pasal 7 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
  2. Bahwa berdasarkan uraian tersebut, sangatlah beralasan hukum Praperadilan yang dimohonkan PEMOHON a quo, sebab yang dimohonkan oleh PEMOHON untuk diuji adalah untuk menguji status tersangka atas diri PEMOHON yang akan berakibat dilangggarnya hak asasi PEMOHON akibat upaya paksa (dwang middelen) yang dilakukan oleh TERMOHON berupa penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan tidak sesuai dan menyimpang prosedur yang ditentukan oleh hukum acara pidana (KUHAP), dengan demikian, Permohonan Praperadilan PEMOHON adalah sah menurut hukum.
  3. Penetapan status seseorang sebagai Tersangka in casu PEMOHON, yang tidak dilakukan berdasarkan hukum (illegal), jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsahan melalui Lembaga Praperadilan.
Pihak Dipublikasikan Ya